Selasa, 03 Maret 2009

3 Syarat menghadapi incumbent


SBY sebagai incumbent dalam pilpres mendatang tampaknya sedang berada dalam posisi dikeroyok. Banyaknya blok yang terbentuk tampak memiliki satu target untuk menantang incumbent. Capres yang paling serius dan sejak 3 bulan lalu mendeklarasikan diri sebagai rival SBY adalah Megawati Soekarno Putri yang kini banyak diopinikan sebagai blok M. Capres yang baru saja menyatakan kesediannya dan memiliki kans besar jika didukung oleh partainya adalah Jusuf Kalla, yang entah mengapa tidak disebut blok J tetapi blok G (Golkar). Sementara blok lain mengatasnamakan diri sebagai blok perubahan yang masih belum solid karena banyaknya warna spektrum politik di dalamnya, meskipun Rizal Ramli yang kelihatan ‘ingin menguasai’ blok ini ‘menantang’ SBY.

Tapi, apakah begitu mudah melawan incumbent atas nama perubahan? Setidaknya ada 3 syarat kemenangan dalam menantang incumbent sebagaimana yang dikemukakan analis politik Bima Arya:
1. Tingkat kekecewaan terhadap incumbent
Semakin besar kekecewaan publik publik terhadap incumbent, semakin besar peluang penantang. Di sini rival baru bisa mengatasnamakan perubahan dan menggulirkan opini itu semasif mungkin.
Pada pemilu 2004, mislanya. Pada saat itu SBY tidak berangkat dari nol. Pada saat popularitas incumbent (Mega) jatuh, ia memainkan isu perubahan yang menguntungkan pencalonannya.

2. Adanya ‘martir politik’
Rakyat Indonesia (khususnya masyarakat Jawa) masih berada dalam budaya lama. Mereka akan selalu membela orang yang tertindas, atau dalam posisi di-‘dzalimi’. Inilah yang terjadi pada saat bersamaan ketika popularitas Mega jatuh, SBY sebagai menko di kabinet Mega saat itu ‘didzalimi’ karena isu pencalonan dirinya.

Selain pribadi calon, ‘martir’ ini sebenarnya bisa diciptakan. Inilah yang disebut dengan ‘manajemen konflik’. PKS, misalnya. Ia telah mengambil keuntungan dari iklan KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, dan pahlawan. Gugatan dan ‘cercaan’ dari sebagian kalangan NU dan Muhammadiyah justru mendatangkan simpati publik kepada PKS sebab publik menilai PKS sedang ‘didzalimi’, masa’ hanya karena iklan begitu PKS dihukum.

3. Momentum yang tercipta
Keberhasilan capres baru juga ditentukan oleh momentum yang tercipta. Kemenangan Obama, misalnya. Meskipun tidak sedang melawan incumbent, tetapi ia melawan partai penguasa yang dinilai memiliki kebijakan yang sama jika Mc. Cain jadi. Di samping keberhasilannya mengelola isu perubahan melalui slogannya “Yes, We Can!” dan “Change We Need”, AS saat itu sedang menghadapi gelombang krisis finansial yang mengharuskan presiden mendatang adalah orang yang mampu mengatasi persoalan ekonomi dalam negeri. [DoZ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar