Jakarta - Begitu Partai Demokrat membuka peluang, PKS langsung membangun komunikasi politik secara intens. Menyusul pertemuan para 'decision maker' kedua partai, SBY-Hilmi, kini sekjen kedua partai langsung bersilaturahim. PKS berambisi usung duet SBY-Hidayat?
Dalam sebuah kampanye, keinginan koalisi dilontarkan Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Sekjen DPP PKS Anis Matta. Keduanya sama-sama merujuk survei internal PKS yang menyebut angka kesukaan kader PKS terhadap capres SBY paling tinggi dibanding tokoh lain. Hubungan berlanjut dengan pertemuan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY di Cikeas, beberapa hari lalu.
Respon pertemuan Hilmi-SBY pun diperkuat dengan forum Sekjen parpol yang dihadiri Anis Matta dan Marzuki Alie, Rabu (25/3) malam. Kedua partai menyepakati ide pembentukan koalisi menyambut pemilu 9 April mendatang. "Iya dalam waktu dekat kita akan deklarasikan kerjasama antara PKS dan Demokrat untuk pemilu legislatif ini," ujar Anis.
Ia mengatakan, pertemuan semalam memang sudah membahas teknis koalisi. Salah satunya adalah melakukan kerjasama dalam mengamankan suara. "Pertemuan ini merupakan titik tolak kelanjutan koalisi PKS-Demokrat. Dalam waktu dekat akan ada pertemuan evaluasi kontrak politik selama ini antara ustad Hilmi dengan Pak SBY. Koalisi ini memang belum final, tapi kecenderungannya memang ke sana (dukung SBY)," tegas Anis.
Tetapi, solidkah ide itu dalam internal Demokrat? Jawabnya belum tentu. Wacana koalisi PKS-PD dinilai lebih ingin membawa citra SBY ke arah 'kanan' (Islam). Padahal, SBY selama ini sudah diimejkan sebagai figur nasionalis religius. "Demokrat dan SBY akan menolak dan tidak mau berkoalisi dengan parpol yang akan membawa bandul pemerintah ke arah kanan," Ketua DPP PD Max Sopacua.
Menurutnya, janggal bila jagonya kemudian akan digeser ke nuansa Islam yang kental. Karena, figur yang mendampingi SBY kelak wajib sealiran yakni nasionalis-religius. Tidak hanya itu, parpolnya juga akan berusaha keras menggaet parpol beraliran nasionalis. Alasannya, hal ini untuk menghindari berubahnya warna pemerintahan SBY ke depan.
"Meski begitu kita tidak menutup koalisi dengan parpol religius. Karena nasionalis tetap akan membutuhkan religius. Siapapun yang akan mendampingi SBY tidak akan bisa menggeser itu ke kanan," urai Max.
Benarkah PKS serius merapat ke SBY untuk menggolkan Hidayat? Banyak analis meragukan PKS memiliki tujuan tersebut. Langkah PKS tersebut lebih diprediksi sebagai langkah mengamankan kepentingan politik sesaat. PKS telah menggeser orientasi politik dari idealis menjadi pragmatis. Intinya, PKS sengaja melakukan inkonsistensi garis politik.
"PKS telah meramal bahwa SBY punya prospek yang kuat untuk terpilih kembali menjadi presiden. Ini suatu keputusan yang jauh lebih maju dari parpol lain yang masih menungggu hasil pileg. PKS ingin mengamankan basis suaranya," tutur pengamat politik dari UI, Abdul Gafur Sangadji.
Analis politik dari LSI, Burhanuddin Muhtadi menduga SBY tidak akan melirik Hidayat sebagai cawapresnya dalam Pilpres ke depan. SBY dinilai lebih akan memilih orang yang berlatar belakang nasionalis ketimbang Islamis. "Yang perlu dikritisi, SBY jangan terlalu gegabah dalam memutuskan untuk segera berkoalisi dengan PKS meski PKS tampaknya sudah bulat mendukung SBY," cetus Burhan.
Ia menjelaskan, bila SBY menerima pinangan PKS yang akan menduetkan SBY-Hidayat, maka akan cukup bahaya bagi pemerintahan SBY. Sebab, kelompok Islamis yang akan ikut koalisi akan bertambah seperti PBB, PPP, PAN yang banyak melakukan permintaan. Sehingga cukup sulit untuk menjaga garis pemerintahan tidak bergerak ke kanan.
"Kalau hanya sekadar power sharing parpol akan dapat berapa menteri di kabinet tak ada masalah. Tapi yang bahaya jika kelompok Islam itu nantinya menuntut terlalu banyak untuk agenda negara yang pro-Islam," tandasnya.
Bila pasangan tersebut terbentuk dan menang, pakar komunikasi politik UI, Dedi Nur Hidayat mengatakan pandangan dunia khususnya negara-negara barat akan merubah persepsinya. Indonesia akan semakin dilihat sebagai negara Islam yang moderat. Sebab, selama ini PKS telah berhasil menjadi partai Islam yang moderat.
"Amerika khusus akan merubah persepsi bahwa Indonesia bukan lagi sebagai negara teroris," papar Dedi.
Perubahan itu, lanjut dia, juga bisa berdampak negatif jika PKS mengendalikan sektor ekonomi. Para investor asing akan berpikir ulang menanamkan modalnya di Indonesia. "Bukan tidak mungkin pola perdagangan akan berubah menjadi lebih mengedepankan syariat Islam," ungkapnya.
Seriuskah PKS menyorongkan Hidayat sebagai capres? Agaknya pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab. Karena SBY juga tentu akan mempertimbangkan adanya stigma 'garis keras' yang ditempelkan kepada PKS. Apalagi, SBY selama ini dikenal sangat berhati-hati dalam menjaga imejnya di mata publik.[L4, inilah.com]
Dalam sebuah kampanye, keinginan koalisi dilontarkan Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Sekjen DPP PKS Anis Matta. Keduanya sama-sama merujuk survei internal PKS yang menyebut angka kesukaan kader PKS terhadap capres SBY paling tinggi dibanding tokoh lain. Hubungan berlanjut dengan pertemuan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY di Cikeas, beberapa hari lalu.
Respon pertemuan Hilmi-SBY pun diperkuat dengan forum Sekjen parpol yang dihadiri Anis Matta dan Marzuki Alie, Rabu (25/3) malam. Kedua partai menyepakati ide pembentukan koalisi menyambut pemilu 9 April mendatang. "Iya dalam waktu dekat kita akan deklarasikan kerjasama antara PKS dan Demokrat untuk pemilu legislatif ini," ujar Anis.
Ia mengatakan, pertemuan semalam memang sudah membahas teknis koalisi. Salah satunya adalah melakukan kerjasama dalam mengamankan suara. "Pertemuan ini merupakan titik tolak kelanjutan koalisi PKS-Demokrat. Dalam waktu dekat akan ada pertemuan evaluasi kontrak politik selama ini antara ustad Hilmi dengan Pak SBY. Koalisi ini memang belum final, tapi kecenderungannya memang ke sana (dukung SBY)," tegas Anis.
Tetapi, solidkah ide itu dalam internal Demokrat? Jawabnya belum tentu. Wacana koalisi PKS-PD dinilai lebih ingin membawa citra SBY ke arah 'kanan' (Islam). Padahal, SBY selama ini sudah diimejkan sebagai figur nasionalis religius. "Demokrat dan SBY akan menolak dan tidak mau berkoalisi dengan parpol yang akan membawa bandul pemerintah ke arah kanan," Ketua DPP PD Max Sopacua.
Menurutnya, janggal bila jagonya kemudian akan digeser ke nuansa Islam yang kental. Karena, figur yang mendampingi SBY kelak wajib sealiran yakni nasionalis-religius. Tidak hanya itu, parpolnya juga akan berusaha keras menggaet parpol beraliran nasionalis. Alasannya, hal ini untuk menghindari berubahnya warna pemerintahan SBY ke depan.
"Meski begitu kita tidak menutup koalisi dengan parpol religius. Karena nasionalis tetap akan membutuhkan religius. Siapapun yang akan mendampingi SBY tidak akan bisa menggeser itu ke kanan," urai Max.
Benarkah PKS serius merapat ke SBY untuk menggolkan Hidayat? Banyak analis meragukan PKS memiliki tujuan tersebut. Langkah PKS tersebut lebih diprediksi sebagai langkah mengamankan kepentingan politik sesaat. PKS telah menggeser orientasi politik dari idealis menjadi pragmatis. Intinya, PKS sengaja melakukan inkonsistensi garis politik.
"PKS telah meramal bahwa SBY punya prospek yang kuat untuk terpilih kembali menjadi presiden. Ini suatu keputusan yang jauh lebih maju dari parpol lain yang masih menungggu hasil pileg. PKS ingin mengamankan basis suaranya," tutur pengamat politik dari UI, Abdul Gafur Sangadji.
Analis politik dari LSI, Burhanuddin Muhtadi menduga SBY tidak akan melirik Hidayat sebagai cawapresnya dalam Pilpres ke depan. SBY dinilai lebih akan memilih orang yang berlatar belakang nasionalis ketimbang Islamis. "Yang perlu dikritisi, SBY jangan terlalu gegabah dalam memutuskan untuk segera berkoalisi dengan PKS meski PKS tampaknya sudah bulat mendukung SBY," cetus Burhan.
Ia menjelaskan, bila SBY menerima pinangan PKS yang akan menduetkan SBY-Hidayat, maka akan cukup bahaya bagi pemerintahan SBY. Sebab, kelompok Islamis yang akan ikut koalisi akan bertambah seperti PBB, PPP, PAN yang banyak melakukan permintaan. Sehingga cukup sulit untuk menjaga garis pemerintahan tidak bergerak ke kanan.
"Kalau hanya sekadar power sharing parpol akan dapat berapa menteri di kabinet tak ada masalah. Tapi yang bahaya jika kelompok Islam itu nantinya menuntut terlalu banyak untuk agenda negara yang pro-Islam," tandasnya.
Bila pasangan tersebut terbentuk dan menang, pakar komunikasi politik UI, Dedi Nur Hidayat mengatakan pandangan dunia khususnya negara-negara barat akan merubah persepsinya. Indonesia akan semakin dilihat sebagai negara Islam yang moderat. Sebab, selama ini PKS telah berhasil menjadi partai Islam yang moderat.
"Amerika khusus akan merubah persepsi bahwa Indonesia bukan lagi sebagai negara teroris," papar Dedi.
Perubahan itu, lanjut dia, juga bisa berdampak negatif jika PKS mengendalikan sektor ekonomi. Para investor asing akan berpikir ulang menanamkan modalnya di Indonesia. "Bukan tidak mungkin pola perdagangan akan berubah menjadi lebih mengedepankan syariat Islam," ungkapnya.
Seriuskah PKS menyorongkan Hidayat sebagai capres? Agaknya pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab. Karena SBY juga tentu akan mempertimbangkan adanya stigma 'garis keras' yang ditempelkan kepada PKS. Apalagi, SBY selama ini dikenal sangat berhati-hati dalam menjaga imejnya di mata publik.[L4, inilah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar