Selasa, 03 Maret 2009

Anis-Sultan Main Mata, PKS Terbelah


Herdi Sahrasad

INILAH.COM, Jakarta - Gara-gara Anis Matta dan Sultan HB X 'bermain mata', PKS dikabarkan terbelah. Gagasan Anis yang dipersepsikan mewakili keinginan elite kalangan muda itu ditolak oleh politisi senior PKS, yang lebih nyaman dengan rencana 'perkawinan politik' JK-Hidayat.

Menarik memang mencermati dinamika politik internal seperti ini. Tatkala hampir seluruh kader PKS mendukung duet M Jusuf Kalla-Hidayat Nur Wahid, diam-diam Sekjen DPP PKS Anis Matta menyorong Sultan sebagai calon presiden yang pantas didukung PKS. Ada apa gerangan?

Kelompok Anis ini kerap dikenal sebagai faksi kesejahteraan. Mereka yang berada di kubu ini disebut-sebut antara lain Fachry Hamzah dan Andi Rahmat. Para analis politik menyebut Anis cs ini sebagai kelompok kepentingan PKS yang mengedepankan pragmatisme.

Tentu di tubuh PKS tidak hanya ada kelompok Anis cs. Faksi ini berseberangan dengan faksi mayoritas PKS yakni faksi keadilan. Kelompok yang disebut terakhir ini berisi idealis dan teknokrat yang konon mendukung kemungkinan duet JK-HNW. Faksi keadilan dipelopori Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Zulkieflimansyah dan seterusnya.

Mengapa Anis tiba-tiba menyorongkan Sultan? Jawabannya beragam. Dengan analisis post-strukturalisme, kita bisa membaca bahwa: Pertama, di hadapan JK-HNW, Anis tak bisa mendikte dan mengatur lalulintas politik sesuai kepentingan dan seleranya.

Kedua, Kubu Hidayat-Tifatul jauh lebih kuat dan rapi, solid dan akuntabel serta transparan dalam bermain politik, sehingga Anis tak bisa menembus barikade itu. Ketiga, Anis merasa ketinggalan kereta, kurang berperan sentral, lalu berusaha mengecoh dan mengimbangi langkah kuda kubu Hidayat-Tifatul yang santun, kredibel dan terstruktur. Tentu saja, kesan yang muncul Anis keteteran.

Dalam hal ini, Wasekjen PKS Fachry Hamzah, kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (3/3), menilai pernyataan Anis soal Sultan itu sebagai pernyataan pribadi. Soal nama capres yang keluar dari mulut elit PKS, menurutnya, jangan dipandang sebagai pernyataan final. Sehingga, pernyataan Anis Matta yang menganggap Sultan lebih baik dari JK, hanya sebagai analisis pribadi saja.

"Itu sebabnya tidak mungkin soal dukungan disepakati sekarang. Karena yang kita khawatirkan, Golkar sudah merasa koalisi sudah terjadi. Yang diinginkan PKS itu adalah membangun konsepsi yang benar, Itu dulu baru bicara figur," kata Fachry.

PKS memang tidak memiliki tokoh yang bisa ditonjolkan sebagai sosok sentral di panggung nasional seperti SBY, Megawati, Wiranto atau Prabowo Subianto. Hal ini menyebabkan sejumlah elit partai Islam berlambang dua bulan sabit mengapit sebatang padi ini mudah digoyang kepentingan pendek (uang) pihak luar.

Apa yang terjadi kini mengingatkan kembali pada Pilpres 2004. Kala itu, PKS juga terbelah. Sebagian menginginkan dukungan kepada duet Amien Rais-Siswono Yudo Husodo. Sementara kubu Anis memilih Wiranto-Salahuddin Wahid. Alhasil, PKS tidak mendukung siapapun dalam pilpres putaran satu.

Tentunya, meski tidak ada figur sentral di panggung nasional, bukan berarti lantas PKS latah dengan dinamika politik nasional. Menjaga kehormatan dan jarak terhadap 'kenikmatan sesaat' (baca: uang) agaknya menjadi penting untuk diperhatikan PKS. Mudah-mudahan PKS memang tidak demikian.[Bersambung/L4]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar